Abcmarathinews.com – Pembentukan Komite Reformasi Kepolisian oleh pemerintah menjadi sorotan. Kehadiran komite ini diharapkan menjadi angin segar bagi perbaikan institusi Polri yang selama ini menghadapi berbagai tantangan. Lantas, apa saja yang perlu dibenahi oleh komite ini agar reformasi Polri tidak hanya menjadi wacana?
Peneliti HAM dari SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, menekankan bahwa komite ini harus lebih dari sekadar respons jangka pendek. Ia menginginkan komite ini menjadi instrumen strategis untuk mempercepat transformasi kepolisian, menyelesaikan masalah struktural dan kultural yang telah lama mengakar.

Menurut Ikhsan, komite ini harus memiliki visi yang luas, yaitu penguatan demokrasi. Pasalnya, dalam beberapa tahun terakhir, Polri tidak hanya mengalami krisis kepercayaan, tetapi juga menjadi aktor dalam praktik regresi demokrasi. Jika tidak ada desain yang progresif, Polri berisiko menjadi sumber masalah bagi demokrasi dan menjadi penopang otoritarianisme.
Gagasan reformasi kepolisian bukanlah hal baru. Masyarakat sipil, termasuk SETARA Institute, telah lama mendorong agenda ini. SETARA Institute mencatat ada 130 masalah aktual yang melekat dalam tubuh Polri, yang menghambat transformasi. Masalah-masalah ini dikelompokkan ke dalam 12 rumpun masalah yang menuntut perbaikan sistemik.
Dari studi yang dilakukan, SETARA Institute mengidentifikasi lima rumpun masalah prioritas dalam reformasi Polri, yaitu akuntabilitas pengawasan, kinerja penegakan hukum, tata kelola pendidikan dan manajemen sumber daya, kinerja keamanan dan ketertiban masyarakat, serta kinerja perlindungan dan pelayanan masyarakat.
Survei terhadap 167 ahli menunjukkan bahwa mayoritas menilai kepercayaan publik terhadap Polri tidak baik. Mereka juga menilai pengaruh Polri dalam menjaga demokrasi tidak baik, pelaksanaan kepolisian yang demokratis dan humanis tidak baik, serta integritas Polri dalam penegakan hukum tidak baik.
Ikhsan memberikan beberapa catatan penting untuk Komite Reformasi Kepolisian. Pertama, kinerja komite harus didukung oleh legitimasi politik dari presiden, regulasi yang kuat dengan kewenangan nyata, serta keanggotaan yang independen, profesional, dan progresif. Tanpa prasyarat ini, komite hanya akan menjadi catatan administratif yang mudah diabaikan.
Kedua, komite harus memprioritaskan lima kelompok permasalahan yang telah diidentifikasi oleh SETARA Institute. Selain itu, SETARA Institute juga menyusun desain transformasi yang komprehensif, dengan empat pilar sebagai basis reformasi Polri, yaitu Polri yang demokratis-humanis, berintegritas-antikorupsi, proaktif-modern, dan presisi-transformatif.
Pembentukan Komite Reformasi Kepolisian merupakan langkah signifikan dalam demokratisasi sektor keamanan. Namun, keberhasilannya akan terukur jika komite bekerja secara independen, transparan, dan berorientasi pada perubahan substantif. Reformasi Polri harus menjadi agenda mendasar bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia, bukan sekadar "kosmetik" atau respons sesaat terhadap krisis legitimasi.